Efektifkan Dan Tingkatkan Nilai Pengelolaan Kawasan Hutan Indonesia

SUARAJAVAINDO.COM-REMBANG-Pengelolaan hutan konvensional memang tidak efektif. Nilai uang sumbangannya untuk pembangunan juga rendah. Apalagi kalau tidak berperan mencegah bencana. Pemerintah malah harus keluar uang yang tidak sedikit, “Ujar Trastoto Handadari Mantan Dirut Perhutani tahun 2005 ketika dihubungi lewat Whaasaap. Selasa 3/09/2024 (malam)

Lanjut Dia”Diluar fungsinya yang sangat vital mengelola hutan juga tidak efisien dalam menggunakan lahan. Waktu tunggu panenannya hutan (kayu) relatif lama, dan relatif tidak untung.

Berdagang komoditi hutan memang tidak menarik dan tekor. Kecuali bila model usahanya seperti usaha hutan (kayu) HPH, nanam tidak, tinggal tebang, dan atau mencuri waktu panen atau malah praktik mencuri kayu (illegal logging) yang tidak heran hampir selalu dicampuri aparat pemerintah.

Paska loging tidak mengherankan kalaupun dianggap sudah pulih log-over area banyak ditumbuhi tumbuhan setara biwan (Endertia sp) yang tidak bernilai untuk bahan kotak sabun. Dan itu sudah lazim diketahui di masyarakat hutan di Indonesia.

Negara kehutanan di dunia yang dikenal mampu memakmurkan rakyatnya dari hasil hutan adalah Kanada. Secara khusus Negara Bagian British Colombia.

Dengan luas kawasan hutannya sekitar 90 juta hektare yang aman tanpa dipatok, masyarakat dengan menggunakan GPS mengetahui dan menghormati batas-batas hutannya.

SDM kehutanan disana juga efisien bekerja dan jujur. Dengan tehnologi yang maju mereka bekerja mandiri. Ruang kerja Menteri Kehutanan di British Colombia seluas ruang kerja Kabag (eselon III) di kantor kementerian di Indonesia.

Tentu kita tidak boleh malu memiliki faslitas bekerja dan mengembangkan diri untuk menirunya.

Senior rimbawan Kagama Dr. Transtoto Handadhari yang dikenal sebagai pemikir dan mantan Direktur Utama Perum Perhutani menekankan,” bahwa langkah-langkah pengelolaan efektif efisien di Perhutani telah dilakukannya antara lain memanfaatkan setiap “jengkal tanah” kawasan termasuk hutan lindung sesuai fungsi dan kesesuaian lahannya tanpa mengundang bencana lingkungan.”

Dengan tujuan kesejahteraan masyarakat dan karyawan dilakukan penanaman kembali seluruh tanah kosong sekitar 600.000 hektare melalui progran Perhutani Hijau 2010, dilakukan Operasi Hutan Lestari Tanpa Batas (OHLTB), operasi pengembalian tanah serobotan (enchroachment), peningkatan kerhasilan tanaman sampai 100 persen, optimalisasi aset, penghapusan komisi tanpa aturan dalam penjualan kayu, peningkatan gaji dan bonus, peningkatan bagi hasil sampai 25 persen bagi masyarakat desa hutan yang semua diikutkan dalam pengelolaan hutan.

Penghasilan pun meningkat tajam. Dari semula sekitar Rp60 milar setahun menjadi Rp 1 triliun setahun. Dan karyawan disamping meningkat kesejahteraannya juga meningkat moral dan morilnya. Hutan meningkat keamanannya.

Namun kejayaan perusahaan hutan negara itu sulit bertahan lama. Masalah rumitnya komplikasi sosial di berbagai pihak mungkin sebabnya.

Pengusahaan jati (Tectona grandis) dengan umur daur 60 tahun yang bernilai mahal selalu merugi. Menanam tanaman kayu putih lebih menguntungkan. Perdagangan getah Pinus merkusi lebih untung tapi sangat terpengaruh pasar dunia. Komoditi usaha sereh wangi malah lebih menarik.

“Ya itulah kenyataan yang nyata di lapangan. Sumber daya alam harus melayani maunya bisnisman. Kecuali antara lain hutan tanaman yang berorientasi pengolahan pulp dan kertas. Itupun masih kurang efektif kalau pemerintah, bahkan akademisi, ikut mengelola”, kata Transtoto yang kini sedang menginisiasi mengelola pelestarian ekosistem hutan lautan itu.

Transtoto juga menambahkan sebenarnya peluang pendapatan maupun sumber pangan sangat besar di kawasan hutan.

Menurut Transtoto tantangannya adalah perilaku manusia yang mau enaknya saja, malas berpikir, dan cepat puas dengan hasil yang sudah dianggap cukup. Konon itu ada korelasi dengan rendahnya IQ dan nilai kejuangan masyarakat yang rendah.

“Lebih buruk lagi berkaitan dengan mental atau budaya curang (cheating) dan mencuri terjadi di hampir semua tingkatan. Sumber daya hutan terdegradasi dan bencana lingkungan diabaikan. Yang diutamakan mengisi perut dan ketamakan”, tutur Transtoto yang menduga telah mengakibatkan merosotnya patriotisme banyak para rimbawan, dan membiarkan prinsip-prinsip serta idealisme rimbawan luntur oleh kepentingan mempertahankan jabatan serta penghasilan.

Merosotnya luas tutupan lahan hutan dan degradasi kualitas hutan masa lalu menarik untuk dibahas. Padahal dengan hitungan kasar Transtoto pernah menyampaikan bahwa dengan tanah kosong yang mencapai 60 juta hektare dibutuhkan dana penghutanan sekitar Rp125 juta per hektare atau bisa mencapai 7.500 triliun rupiah dan waktu reboisasi yang lama.

“Peng-efektifan fungsi hutan dan meningkatkan nilai komersial kawasan hutan antara lain bisa dilakukan dengan mencari jenis-jenis pohon baru yang bakal komersial seperti pohon getah lem atau pohon jaranan yang banyak di kawasan hutan Perhutani, intensifikasi tumbuhan porang, pembangunan tanaman pola hutan-kebun, intensifikasi berkembangnya tumpangsari termasuk dikembangkanmya perikanan darat dalam hutan, sumber medis antara lain extraksi pacet sebagai obat stroke, venom racun ular berharga Rp5 juta per gram, akar kuning bahan utama obat China yang hanya ada di Borneo, tabar kedayan penangkal racun dari Kaltim, mebanami sumber biofuel produtif (Pongamia sp.), mengaktifkan reklamasi bekas tambang yang banyak dibiarkan, pengembangan tanaman jamu (herbal/empon-empon) dan sumber-sumber hewani dan aves, explpotasi sumber kalori hutan seperti belalang dan enthung jati,
serta mengembangkan daya guna ekosistem hutan lautan termasuk perdagangan karbon melalui kekayaan ganggang laut dalam memproduksi besarnya oksigen dan mengikat karbon di samodera”, Pungkasnya sambil menutup paparannya. (sigit).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *