SEMARANG – SUARAJAVAINDO.COM – Ketua DPD Yuristen Legal Indonesia (YLI) Jawa Tengah, Doni Sahroni, menyatakan keprihatinan mendalam atas dugaan kasus korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang akrab disapa Mbak Ita. Ia mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya.
Pernyataan itu disampaikan Doni menyusul munculnya fakta-fakta baru dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang pada Rabu (4/6/2025). Dalam sidang tersebut, Sekretaris Dinas Pemadam Kebakaran Kota Semarang, Ade Bhakti Ariawan, mengungkap adanya dugaan aliran dana suap kepada sejumlah oknum aparat penegak hukum (APH) di Kota Semarang.
Menurut Doni, keterangan itu merupakan pintu masuk penting bagi KPK untuk menelusuri keterlibatan lebih luas, tidak hanya di tingkat pejabat eksekutif daerah, tapi juga di kalangan penegak hukum, dan organisasi masyarakat yang disebut dalam sidang.
“Di situ oknumnya siapa, jangan menggeneralisasi institusi. Karena marwah dan nama baik institusi penegak hukum harus dijaga,” tegas Doni.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa, Hevearita Gunaryanti Rahayu bersama suaminya, Alwin Basri, dan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Indriyasari, diduga melakukan pemotongan insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Bapenda. Pemotongan tersebut dinilai merugikan hak-hak ASN yang seharusnya diterima secara penuh sesuai aturan.
Pada dakwaan lainnya, Hevearita dan Alwin juga disebut menerima gratifikasi dari pelaksanaan proyek-proyek pemerintah di 16 kecamatan di Kota Semarang. Dana gratifikasi tersebut diduga berasal dari rekanan yang mengerjakan proyek, dan dikumpulkan oleh para camat.
Doni menekankan bahwa Yuristen Legal Indonesia mendorong KPK untuk menyelidiki lebih jauh semua pihak yang terlibat, terutama kalangan ASN.
“Keterlibatan ASN di sini juga harus diselidiki lebih jauh, tidak hanya berhenti di Mbak Ita dan Alwin,” ujar Doni.
Ia mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, telah diatur bahwa baik pemberi maupun penerima suap dan gratifikasi dapat dijerat dengan sanksi pidana.
Pasal 5 dan Pasal 12 UU tersebut secara eksplisit menyebutkan ancaman pidana bagi setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Sementara Pasal 11 dan Pasal 12B mengatur pidana bagi penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya.
“Hukum jangan tebang pilih. Jangan karena hanya menyasar politik tertentu. Kami dorong KPK untuk mengusut tuntas dan menindak semua yang terlibat, baik pemberi maupun penerima,” tegas Doni.
Doni Sahroni juga mendorong agar penasihat hukum Hevearita dan Alwin membuka peran pihak-pihak lain yang disebut dalam perkara ini, agar penyelesaian hukum benar-benar menyentuh keadilan substantif,” pungkas Doni Sahroni
#poerBled.